Suku Kayan berada di antara Burma dan Thailand ini memiliki standar kecantikan yang unik. Wanita Kayan yang memiliki leher jenjang dan panjang akan dianggap cantik oleh para prianya. Oleh karena itu sejak usia 5 tahun, anak perempuan Kayan diberi kalung logam yang semakin lama akan semakin banyak seiring bertambahnya umur mereka. Selain sebagai penanda kecantikan, banyaknya kalung logam yang memperpanjang leher mereka juga menunjukkan status sosial.
Sehingga beriring dengan bertambahnya umur, maka bertambah panjang juga lehernya, logam tersebut juga berfungsi untuk menahan kepala, karena ketika leher memanjang namun tidak ada logam yang menahan leher akan terancam patah yang menyebabkan kematian.
2. Foot Binding atau Pengikatan Kaki
Foot Binding atau pengikatan kaki adalah tradisi menghentikan pertumbuhan kaki perempuan zaman dahulu yang terjadi di China. Tradisi ini telah menghadirkan penderitaan besar bagi para perempuan China pada masa itu. Pengikatan kaki biasanya dimulai sejak anak berumur antara empat sampai tujuh tahun. Masyarakat miskin biasanya terlambat memulai pengikatan kaki karena mereka membutuhkan bantuan anak perempuan mereka dalam mengurus sawah dan perkebunan.
Pengikatan kaki dimulai pada masa akhir dinasti Tang (618-907) dan mulai menyebar pada golongan kelas atas sampai pada zaman dinasti Song (960-1297), pada zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing (1644-1911), budaya mengikat kaki menyebar luas dalam mayoritas masyarakat China sampai akhirnya dilarang pada Revolusi Sun Yat Sen tahun 1911. Kelompok yang menghindari adat ini hanyalah bangsa Manchu dan kelompok migran Hakka yang merupakan kelompok paling miskin dalam kasta sosial China. Kebiasaan mengikat kaki ini berlangsung selama sekitar seribu tahun dan telah menyebabkan sekitar satu milyar wanita China mengalami pengikatan kaki.
Pengikatan kaki dilakukan dengan cara membalut kaki dengan ketat menggunakan kain sepanjang sepuluh kaki dengan lebar dua inchi, melipat empat jari kaki ke bagian bawah kaki dan menarik ibu jari kaki medekati tumit. Hal ini membuat kaki menjadi lebih pendek. Pembalut kaki semakin diketatkan dari hari ke hari dan kaki dipaksa memakai sepatu yang semakin kecil. Kaki harus dicuci dan dipotong kukunya karena kalau tidak akan membuat kuku-kuku kaki di kaki yang diikat menusuk ke dalam dan menimbulkan infeksi. Jika balutan terlalu ketat maka dapat timbul buku-buku di kaki yang harus dipotong dengan pisau. Kemudian kaki juga harus dipijat dan dikompres dingin dan panas untuk sedikit mengurangi rasa sakit. Pengikatan kaki membuat siklus darah tidak lancar sehingga dapat membuat daging kaki menjadi busuk dan kaki dapat mengeluarkan nanah. Semakin kecil kaki seorang gadis maka akan semakin cantik ia dipandang. Panjang kaki seorang gadis hanya berkisar 10-15 sentimeter saja.
3. Mereka Jarang Mandi
Sebagian besar dari kita mengira kalau orang jepang yang berkulit putih mulus sering mandi dan luluran serta segala macam perawatan kulit,tapi kenyataannya mereka jarang sekali mandi apalagi luluran. Tiap pagi sebelum berangkat kerja atau sekolah mereka tidak pernah mandi, mereka hanya cuci muka dan gosok gigi saja. Mereka mandi hanya seminggu sekali di pemandian air panas (onsen), dan yang menarik mereka mandi beramai-ramai dan tanpa menggunakan busana sehelaipun.
Kepercayaan primitif India yang mengagungkan anak lelaki dan menafikan kelahiran wanita berujung pada timpangnya jumlah kedua gender. Hal ini menyiptakan praktek yang bertentangan dengan moral, yaitu berkongsi istri dengan para saudara. Hal ini terjadi di wilayah utara India, tepatnya di distrik Baghpat, hanya sekitar dua jam dari kota metropolitan New Delhi.
5. Kebiasaan Inggris Menjual Istri
Kebiasaan Inggris untuk menjual istri adalah suatu cara mengakhiri pernikahan yang tidak memuaskan berdasarkan kesepakatan bersama yang kemungkinan dimulai pada akhir abad 17, ketika praktik perceraian adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk semua orang kecuali untuk kalangan kaya raya. Setelah memamerkan istrinya dengan tali di lehernya, lengan, atau pinggang, suami akan melelang istrinya dan menjualnya ke penawar tertinggi. Praktik menjual istri dijadikan latar belakang untuk sebuah novel berjudul The Mayor of Casterbridge karangan Thomas Hardy. Karakter utama dalam novel ini menjual istrinya sendiri pada awal cerita. Perbuatan tersebut menghantui dirinya seumur hidup, dan pada akhirnya menghancurkan dirinya.
Meskipun kebiasaan ini tidak mempunyai dasar hukum yang nyata dan sering berakhir dengan tuntutan hukum, terutama pada pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, sikap para aparat berwenang pada waktu itu terkesan samar-samar atau kurang tegas. Namum setidaknya seorang hakim pada awal abad ke-19 dalam sebuah pernyataan tercatat menyatakan bahwa dia tidak yakin dapat menghalangi adanya praktik kebiasaan menjual istri. Pada suatu ketika ada pula kasus-kasus penjualan istri sebagai akibat dari Undang-Undang Komisioner Masyarakat Miskin setempat yang memaksa suami-suami untuk menjual istri mereka daripada menjaga keutuhan keluarganya dan hidup di penampungan tunawisma yang disebut workhouse.
Praktik penjualan istri bertahan di Inggris hingga awal abal ke-20. Menurut seorang saksi dan sejarawan James Bryce yang menulis pada tahun 1901, bahwa praktik penjualan istri masih kadang-kadang dilakukan pada waktu itu. Pada salah satu kasus terakhir praktik penjualan istri yang dilaporkan di Inggris, seorang perempuan memberikan kesaksian di pengadilan kota Leeds pada tahun 1913, mengaku bahwa dia dijual ke salah seorang rekan kerja suaminya seharga £1.
Kebiasaan Inggris untuk menjual istri adalah suatu cara mengakhiri pernikahan yang tidak memuaskan berdasarkan kesepakatan bersama yang kemungkinan dimulai pada akhir abad 17, ketika praktik perceraian adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk semua orang kecuali untuk kalangan kaya raya. Setelah memamerkan istrinya dengan tali di lehernya, lengan, atau pinggang, suami akan melelang istrinya dan menjualnya ke penawar tertinggi. Praktik menjual istri dijadikan latar belakang untuk sebuah novel berjudul The Mayor of Casterbridge karangan Thomas Hardy. Karakter utama dalam novel ini menjual istrinya sendiri pada awal cerita. Perbuatan tersebut menghantui dirinya seumur hidup, dan pada akhirnya menghancurkan dirinya.
Meskipun kebiasaan ini tidak mempunyai dasar hukum yang nyata dan sering berakhir dengan tuntutan hukum, terutama pada pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, sikap para aparat berwenang pada waktu itu terkesan samar-samar atau kurang tegas. Namum setidaknya seorang hakim pada awal abad ke-19 dalam sebuah pernyataan tercatat menyatakan bahwa dia tidak yakin dapat menghalangi adanya praktik kebiasaan menjual istri. Pada suatu ketika ada pula kasus-kasus penjualan istri sebagai akibat dari Undang-Undang Komisioner Masyarakat Miskin setempat yang memaksa suami-suami untuk menjual istri mereka daripada menjaga keutuhan keluarganya dan hidup di penampungan tunawisma yang disebut workhouse.
Praktik penjualan istri bertahan di Inggris hingga awal abal ke-20. Menurut seorang saksi dan sejarawan James Bryce yang menulis pada tahun 1901, bahwa praktik penjualan istri masih kadang-kadang dilakukan pada waktu itu. Pada salah satu kasus terakhir praktik penjualan istri yang dilaporkan di Inggris, seorang perempuan memberikan kesaksian di pengadilan kota Leeds pada tahun 1913, mengaku bahwa dia dijual ke salah seorang rekan kerja suaminya seharga £1.
6. Tradisi dalam Pernikahan
Biasanya ketika melangsungkan pesta pernikahan, pasangan pengantin baru mendapatkan kado sepasang tempat garam en merica (zout en peper stelletje), atau menyediakan suvenir pernikahannya berupa benda ini. Makna dibaliknya, karena garam dan merica dianggap sebagai 2 bumbu masak yang selalu dipakai bersama di dapur dan saling melengkapi satu sama lain (di sini kalau memasak kedua bumbu ini biasa dipakai bersamaan). Makanya dipergunakan juga buat melambangkan pria dan wanita yang menikah itu sebagai satu kesatuan yang tak lepas satu sama lain dan juga saling melengkapi seperti garam dan merica di masakan ini.
Wittebroodsweken, yaitu masa 6 minggu pertama setelah pesta pernikahan / bulan madu buat pengantin baru, yang mana dalam masa-masa tersebut pengantin baru belum boleh dikunjungi oleh siapapun termasuk keluarga, dengan maksud untuk memberikan kesempatan pengantin baru tersebut menikmati awal-awal kehidupan baru mereka berdua.
Biasanya ketika melangsungkan pesta pernikahan, pasangan pengantin baru mendapatkan kado sepasang tempat garam en merica (zout en peper stelletje), atau menyediakan suvenir pernikahannya berupa benda ini. Makna dibaliknya, karena garam dan merica dianggap sebagai 2 bumbu masak yang selalu dipakai bersama di dapur dan saling melengkapi satu sama lain (di sini kalau memasak kedua bumbu ini biasa dipakai bersamaan). Makanya dipergunakan juga buat melambangkan pria dan wanita yang menikah itu sebagai satu kesatuan yang tak lepas satu sama lain dan juga saling melengkapi seperti garam dan merica di masakan ini.
Wittebroodsweken, yaitu masa 6 minggu pertama setelah pesta pernikahan / bulan madu buat pengantin baru, yang mana dalam masa-masa tersebut pengantin baru belum boleh dikunjungi oleh siapapun termasuk keluarga, dengan maksud untuk memberikan kesempatan pengantin baru tersebut menikmati awal-awal kehidupan baru mereka berdua.
- Mereka biasa mengucapkan “selamat siang” atau “selamat sore” saat memasuki sebuah toko kecil, dan mengucapkan “bye” saat keluar toko. • Keju dan anggur adalah dua komponen penting dalam menu makanan. Secara tradisional ada sekitar 300 - 400 jenis keju Perancis. Namun sebenarnya ada lebih dari 1000 jenis yang berbeda tersedia di pasar Perancis.
- Anggur merupakan komponen penting dari budaya Perancis. Dan anggur Prancis sangat populer di seluruh dunia. Mereka merupakan salah satu negara penghasil anggur terbesar di dunia. Ada 17 daerah penghasil anggur seperti Bordeaux, Burgundy, Champagne, Loire dan Provence yang melanjutkan tradisi pembuatan anggur di Perancis.
- Fakta lucu tentang Perancis adalah bir dianggap sebagai minuman mewah disimpan untuk acara khusus, sedangkan anggur lebih murah hingga muncul hampir di setiap makanan.
- Orang Perancis punya gaya makan yang khas yang disebut French Style. Ini pola makan lambat, bukan karena malas, tetapi karena menikmati apa yang di makan. Kedua, makan tepat waktu tidak peduli sudah lapar atau belum (berbeda dengan orang Indonesia, yang baru makan setelah lapar). Sehingga membuat tubuh mereka bisa mencerna makanan lebih baik.